Oleh : Agus Widjajanto
Sangat menarik menyimak tulisan dari
*Ir. Rully Chairul Azwar, M.Si*
(Wakil Sekjen FKP MPR RI 1999, Wakil Ketua Komisi X DPR RI 2010–2014, Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI) dalam Group Wa , pada hari ini, yang menulis:
“Soeharto bukan dewa, tapi jasanya fundamental bagi bangsa ini.”
Sudah saatnya bangsa ini menilai sejarah dengan kepala dingin, bukan dengan dendam politik.
Mantan Presiden Soeharto adalah tokoh yang tidak dapat dihapus dari perjalanan bangsa.
Ia bukan tanpa kekurangan, tetapi jejak pembangunannya telah menegakkan fondasi ekonomi dan pemerintahan yang masih kita rasakan hingga kini.
Gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto bukan sekadar penghargaan, melainkan pengakuan atas peran strategisnya dalam membangun Indonesia dari keterpurukan menjadi negara berkembang dengan struktur ekonomi yang kokoh, demikian tulisan dari Ir Rully Chairul Azwar, M.Si. di group wa.
Fokus pada Pembangunan, Bukan Retorika
Bung Karno adalah bapak bangsa dan peletak dasar ideologi, namun Soeharto adalah arsitek pembangunan nasional.
Ia berani melakukan switch besar dari retorika ideologi menuju program pembangunan yang realistis dan terukur.
Cita-cita Indonesia adil dan makmur tidak mungkin dicapai tanpa pembangunan ekonomi yang nyata.
Soeharto memahami hal itu dengan baik. Ia menata pemerintahan yang stabil, memperkuat birokrasi, dan menjadikan pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama.
Karena itulah, beliau layak dijuluki “Bapak Pembangunan oleh bangsa Indonesia yang pernah merasakan kestabilan hidup di masa kepemimpinannya.
Warisan Ekonomi yang Masih Bertahan
Tiga prinsip utama pembangunan era Orde Baru — pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas — adalah fondasi ekonomi yang masih digunakan hingga hari ini.
Soeharto memahami keseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan pembangunan manusia.
Tak heran jika pemimpin dunia seperti Mahathir Mohamad dan Lee Kuan Yew pernah menyebut Soeharto sebagai guru pembangunan Asia Tenggara.
Krisis moneter 1998 bukan disebabkan oleh kegagalan ekonomi Orde Baru, melainkan karena guncangan eksternal dan euforia politik dalam negeri yang tidak mampu dikendalikan.
Contoh Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang sejalan dengan UUD 1945 dan Pancasila
Hal itu telah ditunjukan dan dibangun oleh Soeharto saat menjadi Presiden dalam kurun waktu 32 tahun, dimana telah dibangun sistem ketatanegaraan ala Indonesia yang punya ciri khas Keindonesiaan, dimana oleh Mr Soepomo, disebut sebagai Pemerintahan Desa dalam Skala Negara, bahwa sistem demokrasi ala Indonesia yang bernafaskan KeIndonesiaan adalah menggunakan sistem Perwakilan dengan mengambil keputusan secara Musyawarah dan mufakat, sejalan dengan sila ke empat dari Pancasila dan Pasal 1 ayat dua dalam Kontitusi ( UUD 1945 ) yang berbunyi " Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR)" yang nota bene sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
Salah satu tugas dan wewenang dari MPR adalah membuat dan membentuk serta merancang GBHN (Garis Besar Haluan Negara) dimana untuk mrmberikan arah/kompas bagi bangsa ini kedepan baik secara jangka pendek, menengah hingga panjang. MPR sendiri terdiri dari Seluruh anggauta DPR ditambah utusan daerah yang mewakili daerah daerah di seluruh wikayah NKRI dan utusan Golongan untuk memberikan masukan dan sebagai wadah dari berbagai golongan baik dari kaum agamis, cendikiawan, organisasi pemuda, bahkan organisasi kewaintaan dan organisasi para pengusaha, yang dapat memberikan sumbang sih pemikiran dalam satu wadah besar yang bernama MPR, dan Tokoh sebesar Soeharto telah membangun dengan baik sistem ketatanegaraan tersebut sebagai penyelenggara pemerintahan negara yang sejalan dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Pembentukan dan penyederhanasn Sistem Kepartaian
Dalam Pemerintahan Soeharto, hanya ditetapkan dua partai Politik yakni PPP yang berbasis partai Agama dan Partai Demokrasi Indonesia yang berbasis Nasionalis serta Golongan Karya yang belakangan menjadi partai Golkar.
Soeharto belajar dari sejarah dan kesalahan yang pernah terjadi pada saat orde Lama dimana Soekarno pernah membentuk 100 Partai politik dengan kabinet 100 menteri yang justru mengalami ketidak stabilan politik, hingga oleh Bung Karno dilebur jadi tiga partai yakni Partai Nasionalis, Partai Agamis dan sosialis.
Namun justru pads Pasca-reformasi, arah pembangunan kita justru mengalami setback.Karena tidak ada kompas atau petunjuk yang jelas kemana arah yang akan dituju dan dicapai, karena GBHN ( Garis Besar Haluan Negara ) telah dihilangkan,
Kita terlalu sibuk dengan politik, lupa bahwa roda pembangunan tidak boleh berhenti hanya karena perubahan rezim.
Dari Petani ke Bapak Pembangunan
Soeharto lahir dari keluarga petani di Kemusuk, Yogyakarta.
Kedekatannya dengan tanah dan rakyat membuatnya memahami arti kemandirian pangan. Keberhasilan swasembada beras menjadi bukti konkret bahwa Soeharto memandang pertanian bukan sekadar sektor ekonomi, melainkan simbol kedaulatan bangsa.
Melalui kawasan Tapos, ia menjadikan pertanian sebagai laboratorium kecil kemandirian.
Namun visi Soeharto tidak berhenti di sawah. AMelalui Repelita VI, ia membuka babak baru teknologi bangsa.
Dengan menggandeng BJ Habibie, Indonesia mampu membuat pesawat sendiri, mengirim ribuan mahasiswa ke luar negeri, dan membangun industri strategis melalui BPPT.
Semua itu adalah bagian dari visi Soeharto yang utuh dan menyeluruh: membangun bangsa dari akar hingga angkasa.
Mengapa Gelar Pahlawan Nasional Belum Diberikan?
Sampai hari ini, alasan Soeharto belum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional masih diliputi bayang-bayang politik masa lalu.
Pasca-1998, muncul TAP MPR yang mengaitkan beliau dengan tuduhan KKN.
Namun kini, TAP tersebut sudah tidak relevan lagi.
Bahkan MPR telah menyatakan bahwa Soeharto telah menjalani seluruh proses hukum yang memungkinkan sebelum wafatnya.
Dengan demikian, tidak ada lagi alasan hukum yang menghalangi pemberian gelar tersebut.
KKN bukan dosa personal Soeharto.
Faktanya, praktik korupsi di masa kini justru jauh lebih sistematis dan terstruktur.
Krisis ekonomi 1998 juga tidak murni akibat korupsi, melainkan manipulasi ekonomi global yang memanfaatkan gejolak politik dalam negeri. Nilai tukar rupiah melonjak lebih dari 400 persen, bukan karena salah urus semata, tetapi karena Indonesia kehilangan stabilitas politik.
Reformasi dan Emosi Politik
Reformasi 1998 memang membawa semangat perubahan, tetapi juga diwarnai pemboncengan politik dan dendam sejarah.
Banyak keputusan diambil secara emosional, dengan semangat “hapus semua warisan Orde Baru”. Padahal, tidak semua yang lahir dari Orde Baru harus dimusnahkan.
Kita lupa bahwa di masa Soeharto, keamanan, ekonomi, dan birokrasi berjalan dalam kepastian. Masyarakat hidup dalam tatanan yang relatif tertib dan produktif.
Kini, di tengah kebebasan demokrasi yang tidak terkendali, kita justru kehilangan figur panutan dan arah kebangsaan yang jelas.
Nepotisme dan Meritokrasi
Soeharto sering dituding menjalankan nepotisme.
Selama seseorang memiliki kapasitas, integritas, dan memenuhi merit system, maka itu bukan nepotisme. QqBanyak negara besar memiliki dinasti politik yang sah secara meritokratis: keluarga Bush di Amerika, Gandhi di India, Bhutto di Pakistan.
Bahkan Tutut Soeharto baru menjadi menteri pada 1998 — hanya tiga bulan sebelum Soeharto lengser.
Sulit disebut sebagai dinasti kekuasaan jika melihat fakta sejarahnya secara jernih.
Kabinet Meritokratis dan Demokrasi yang Kebablasan
Kabinet Soeharto diisi oleh tokoh-tokoh dengan kapasitas tinggi dan disiplin profesional: Emil Salim, Radius Prawiro, Ali Wardhana, BJ Habibie, dan lainnya.
Itulah kabinet zaken, kabinet yang meritokratis dan berorientasi pada hasil.yang benar benar Profesional.
Sebaliknya, era pascareformasi diwarnai oleh sistem politik transaksional.
Kabinet disusun berdasarkan kompromi partai dan kepentingan koalisi.
Demokrasi pemilihan langsung langsung qyang kita banggakan kini cenderung berubah menjadi demokrasi uang — ruang dominasi oligarki dan pragmatisme politik. Dan tidak dikenal dalam Pondasi saat negara ini dibentuk hingga berdirinya NKRI baik dari perspektif hukum Ketatanegaraan pada UUD 1945 maupun pada Dasar Negara Pancasila yang lebih mengarah kepada Demokrasi yang santun melalui musyawarah dan mufakat yang diambil oleh tokoh tokoh wakil rakyat baik dari DPR maupun utusan daerah dan utusan Golongan yang diwadahi melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR) sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sesuai diatur dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 sebelum dilakukan Amandemen.
Demokrasi yang kita anut apakah memang Demokrasi ala Liberal seperti saat ini yang bertindak tanpa moral berubah menjadi arena pertarungan bebas menghalalkan segala cara . Inilah yang membedakan era Soeharto dengan kondisi sekarang.
Memang Soeharto Tidak Sempurna, Tapi Jasanya Tak Tergantikan hingga saat ini.
Saya tidak menutup mata bahwa Soeharto bukan tanpa cela. Semua tokoh besar tentu ada kekurangan, dan hal yang wajar sebagai manusia.
Namun sebagai bangsa, kita harus mampu menilai secara objektif dan proporsional.
Yang Pasti sebagai anak bangsa, tidak boleh menghapus jasa, dan kritik tidak boleh menutupi fakta sejarah.
Soeharto telah meletakkan fondasi ekonomi, pemerintahan, dan generasi bangsa.
Ia membangun dari bawah dengan arah yang jelas dan hasil yang nyata.
Warisan pembangunan Soeharto masih menjadi pondasi yang menopang Indonesia hingga hari ini.
Tanpa struktur yang dibangun di era Orde Baru — dari Repelita, swasembada pangan, KB, SD Inpres, hingga industri strategis — Indonesia tidak akan memiliki pijakan ekonomi yang stabil seperti sekarang.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa para pahlawan nya , untuk itu sudah selayaknya kita harus menghargai jasa para pahlawan seperti Pak Harto.
Penulis adalah praktisi hukum dan pemerhati sosial budaya, dan sejarah bangsanya. Tinggal di jakarta.



Posting Komentar