166gda5P8JBiWKJQtoENvT1q58drvJKqaLA2JGMe
Bookmark

Hak Prerogratif Presiden berupa Rehabilitasi terhadap Direksi PT ASDP yang telah dijatuhi hukuman pengadilan Tipikor Jakarta

Oleh : Agus Widjajanto 

Jakarta, retorika.space~Seperti dimuat diberbagai media massa nasional hari ini, Menteri Sekretaris Negara didampingi Sekretaris kabinet dan wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, mengumumkan dari istana negara, bahwa Presiden Prabowo Subiyabto pada hari selasa pada sidang kabinet terbatas atas masukan dari masyarakat dan desakan dari para pakar hukum serta minta pendapat dari kementerian Hukum, menandatangani Rehabilitasi terhadap Direksi PT ASDP, yakni Ira Puspita Wati, Muhammad Yusuf hafi dan Hari M Adi Caksono, atas vonis pengadilan tindak pidana korupsi jakarta pusat yang menghukum Dirut PT ASDP Ira puspitadewi dengan hukuman 4,6 tahun penjara dengan putusan terjadi dissenting opinin dari ketua majelis hakim sunoto. 


Hak Prerogatif Presiden: Rehabilitasi


Hak prerogatif presiden untuk memberikan rehabilitasi adalah wewenang yang diberikan kepada presiden untuk memulihkan hak-hak warga negara yang telah dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan, dengan pertimbangan keadilan dan aspirasi masyarakat.


Dasar Hukum:


- Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

- Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi


Kriteria Rehabilitasi:


- Pejabat negara atau warga negara yang dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan

- Telah menjalani sebagian besar hukuman

- Terdapat pertimbangan keadilan dan aspirasi masyarakat yang mendukung rehabilitasi

- Tidak ada keberatan dari pihak yang berwenang


Proses Rehabilitasi:


- Pengajuan permohonan rehabilitasi oleh yang bersangkutan atau keluarga

- Penilaian dan penelitian oleh lembaga yang berwenang

- Keputusan presiden untuk memberikan rehabilitasi

- Pelaksanaan rehabilitasi oleh lembaga yang berwenang


Tujuan Rehabilitasi:


- Memulihkan hak-hak warga negara yang telah dijatuhi hukuman

- Memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk kembali ke masyarakat

- Meningkatkan keadilan dan kepastian hukum


Dalam Kasus PT ASDP  yang mengakuisisi PT Jembatan Nusantara, kebijakan dari pada direksi dianggap telah merugikan keuangan negara, walau tiadanya mens rea (niat jahat) untuk melakukan korupsi, dan tidak terbukti terjadi korupsi serta tidak ada dana yang mengalir kepada ketiga direksi tersebut. 


Dalam kaidah hukum, PT ASDP merupakan anak BUMN yang berbentuk Perseroan terbatas ( PT ) yang tentu harus tunduk kepada AD/ART dan aturan hukum Perseroan terbatas, dimana tidak tepat jika diseret pada ranah Tindak pidana korupsi, dan audit independen pun harus menggunakan audit swasta seperti hal nya aturan Hukum yang mengacu pada Undang Undang Perseroan terbatas, dari sini saja harus nya dari tingkat penyelidikan ke penyidikan hingga penuntutan harus nya dihentikan, maka tidak heran apabila putusan majelis hakim tidak bulat dan terjadi dissenting opinin dari ketua majelis hakim sunoto, yang berpendapat terdakwa harus diputus onslag (bukan merupakan tidak pidana korupsi). 


Atas putusan Pengadilan tindak Pidana Korupsi jakarta pusat, insan media pun melakukan berbagai opini, dari para pakar hukumn, dan masyarakat yang memperjuangkan keadilan juga melakukan protes hingga sampai presiden, menurut saya Rehabilitasi yang diberikan presiden terhadap terpidana yakni direksi PT ASDP sudah tepat sesuai hak prerogratif presiden melalui rehabilitasi mengacu pada pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Dan UU no 22 tahun 2002 tentang grasi. Demi kepastian hukum dan keadilan   


Kadang para APH (Aparat Penegak Hukum) kita selalu terjebak pada proses peradilan prosedural yang berorientasi dogmatis positivisme, bunyi pasal itulah yang jadi acuan, padahal hukum itu hidup bukan benda mati, hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum, yang harus nya berorientasi pada peradilan Yang mengacu pada keadilan Subtansif. Hukum adalah alat sarana dalam negara menyelenggarakan pemerintahan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi warga negaranya. Bukan hukum dijadikan Sebagai sarana balas dendam . 


Sesuai pendapat saya


Kepastian hukum dan keadilan adalah dua konsep yang saling terkait, namun tidak selalu sejalan. Dalam beberapa kasus, kepastian hukum dapat mengorbankan keadilan dan sebaliknya.


Dalam konteks rehabilitasi, kepastian hukum dapat berarti bahwa proses rehabilitasi harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, sehingga tidak ada penyimpangan atau kesalahan. Namun, keadilan dapat berarti bahwa rehabilitasi harus diberikan kepada yang bersangkutan jika memang layak dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.


Dalam hal ini, presiden sebagai pemegang hak prerogatif harus mempertimbangkan kedua aspek tersebut, sehingga keputusan rehabilitasi yang diambil tidak hanya berdasarkan pada prosedur, tetapi juga pada keadilan dan kebenaran.


Keseimbangan antara Kepastian Hukum dan Keadilan


- Kepastian hukum harus menjadi dasar dalam proses rehabilitasi

- Keadilan harus menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan

- Presiden harus mempertimbangkan kedua aspek tersebut dalam mengambil keputusan rehabilitasi

- Keputusan rehabilitasi harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan


Aristoteles dan Thomas Aquinas, dua filsuf besar dalam sejarah filsafat, memiliki pandangan yang menarik tentang hubungan antara kepastian hukum dan keadilan.

Aristoteles:

Aristoteles berpendapat bahwa keadilan adalah tujuan utama dari hukum. Dalam bukunya "Etika Nicomachea", ia menyatakan bahwa keadilan adalah "keselimbangan" atau "kesetaraan" dalam masyarakat. Ia juga menekankan bahwa hukum harus adil dan tidak hanya berdasarkan pada aturan-aturan yang kaku.

Thomas Aquinas:

Thomas Aquinas, dalam bukunya "Summa Theologica", juga menekankan pentingnya keadilan dalam hukum. Ia berpendapat bahwa hukum harus berdasarkan pada prinsip-prinsip moral dan etika, dan bahwa keadilan adalah tujuan utama dari hukum.

Kepastian Hukum vs Keadilan:

Kedua filsuf ini setuju bahwa kepastian hukum tidak boleh mengorbankan keadilan. Mereka berpendapat bahwa hukum harus adil dan tidak hanya berdasarkan pada aturan-aturan yang kaku, tetapi juga harus mempertimbangkan keadilan dan moralitas.

Dalam konteks ini, presiden sebagai pemegang hak prerogatif harus mempertimbangkan keadilan dan moralitas dalam mengambil keputusan rehabilitasi, sehingga keputusan yang diambil tidak hanya berdasarkan pada prosedur, tetapi juga pada keadilan dan kebenaran.

Penulis adalah praktisi hukum dan pemerhati sosial budaya dan politik bangsanya

Posting Komentar

Posting Komentar