166gda5P8JBiWKJQtoENvT1q58drvJKqaLA2JGMe
Bookmark

Perkawinan Beda Agama dan Hak Asasi yang Terdalam Sebagai Mahluk Tuhan Dalam Perspektif UUD 1945

Oleh : Agus Widjajanto

Jakarta, retorika.space~Persamaan didalam hukum pada setiap warga negara diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Pasal ini menegaskan bahwa semua warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan, tanpa diskriminasi atau perbedaan perlakuan. Ini berarti bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang adil dari hukum, serta wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku.

Dalam kaitan berbangsa dan bernegara kerap terjadi di dalam masyarakat terjadi dikotomi dimana dua manusia saling mencintai dan menyayangi sebagai karunia yang Maha Kuasa, tidak bisa menjalani proses secara administratif dalam lembaga perkawinan karena beda keyakinan dalam beragama, khususnya apabila dikaitkan dengan Undang Undang Perkawinan. 

Merujuk pada pasal 27 ayat (1) pada UUD 1945 yang merupakan hak yang diatur secara universal diseluruh dunia dalam negara demokrasi, sebagai mahluk Tuhan, dimana harus dijamin persamaan nya di depan hukum, dimana dalam kasus a quo terjadi perkawinan beda agama yang tidak bisa menjalani perkawinan secara administratif, jelas bertentangan dengan UUD 1945. 

Perkawinan adalah sebuah ikatan yang indah antara dua insan manusia yang saling mencintai dan berkomitmen untuk menjalani hidup bersama. Rasa kasih dan cinta adalah fondasi yang kuat untuk membangun sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia.

Dalam perkawinan, dua insan manusia saling melengkapi dan mendukung satu sama lain, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang bersama. Mereka berbagi suka dan duka, serta menghadapi tantangan hidup bersama-sama.

Perkawinan juga merupakan sebuah perjalanan spiritual, di mana dua insan manusia dapat meningkatkan kesadaran dan kedekatan dengan Tuhan, serta memperdalam hubungan mereka dengan sesama manusia.

Jadi, mari kita hargai dan jaga ikatan perkawinan kita dengan penuh kasih sayang, kesabaran, dan komitmen, sehingga kita dapat membangun sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis. Yang memang berdasarkan Karunia Tuhan itu sendiri bagian dari Hukum Alam (Sunatullah) yang manusia dan bahkan negara tidak boleh mengekang apalagi melarang secara administratif terjadinya perkawinan. 

Perkawinan beda agama di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Pasal 2 ayat (1) UU tersebut, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ini berarti bahwa perkawinan beda agama tidak secara eksplisit diatur dalam UU, tetapi lebih diserahkan kepada hukum agama masing-masing pasangan 

Dalam hukum Islam, perkawinan beda agama memiliki beberapa ketentuan

- Laki-laki Muslim dengan Wanita Non-Muslim: Dilarang menikah dengan wanita musyrik (penyembah berhala), tetapi diperbolehkan menikah dengan wanita ahli kitab (Yahudi dan Kristen) dengan syarat tertentu.

- Wanita Muslim dengan Laki-laki Non-Muslim: Dilarang menikah dengan laki-laki non-Muslim, termasuk ahli kitab.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah 

Dalam praktiknya, beberapa pasangan memilih untuk menikah di luar negeri atau melalui jalur konversi agama. Namun, perlu diingat bahwa perkawinan beda agama dapat menimbulkan dampak sosial dan administratif, seperti kesulitan dalam pencatatan pernikahan dan hak-hak administratif lainnya.

Merujuk pada aturan diatas, maka baru baru ini, sedang di uji materi di Mahkamah Kontitusi menyangkut perkawinan beda Agama. 

Adalah Muhamad Anugrah Firmansah, telah menggugat Undang Undang Perkawinan di MK, dimana yang bersangjutan ingin menikah beda agama agar bisa diakui secara hukum. Ia menilai selama ini aturan soal perkaeinan tidak memberikan kepastian hukum bagi pasangan lintas agama di Indonesia. 

Anugrah menguji pasal 2 ayat (1) UU nomor1 tahun 1974 tentang perkawinan yang dinilai ketentuan tersebut menimbulkan ketidak jelasan dan multi tafsir soal pencatatan perkawinan antar agama sehingga berakibat kepada ke tidak pastian hukum. 

Anugrah memaknai bahwa dalam pasal 2 ayat ( 1) UU perkawinan tersebut adanya larangan bagi pencatatan perkawinan bagi pasangan antar Agama atau pemeluk agama berbeda. Seolah olah hanya boleh terhadap seagama saja yang bisa di catat. Penafsiran tersebut berimplikasi langsung kepada pada tertutunya akses pencatatan perkawinan antar Agama. 

Sejatinya ketentuan mengenai perkawinan antar Agama telah diatur dalam Undang Undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, penetapan perkawinan beda agama bisa diajukan melalui penetapan pengadilan negeri, namun dalam prakteknya banyak hakim menolak penetapan perkawinan beda agama dikarenakan masih terpaku pada Undang Undang Perkawinan khusus nya pasal 2 ayat (1) yang lebih berorientasi pada hukum positivisme, bukan berdasarkan asas keadilan dan kemanfaatan. 

Disinilah kendala kerao terjadi, dikarenakan pemahaman yang berbeda karena menyerahkan kepada masing masing penentu kebijakan untuk mdnafsirkan. 

Lalu pertanyaan yang selalu mengusik setiap insan, apalah saat kita didalam rahim Ibunda selama 9 bulan dan dilahirkan di Dunia kita sudah beragama? Apakah agama agama samawi dan Hindustan bahkan Kapitayan sebagai agama budaya asli kita berasal dari Tuhan yang berbeda beda? Sedangkan ketentuan Sila pertama dari pada Dasar negara sebagai pandangan hidup bangsa sumber dari segala sumber hukum serta falsafah bangsa jelas tertulis, " Ketuhanan Yang Maha Esa " yang bermakna Tuhan sebagai kekuatan yang Esa, yang ada diluar diri kita yang mengatur seluruh alam raya , yang penuh kasih dan adil yang mengayomi seluruh mahluk dimuka bumi. 

Fenomena klasik hingga kini adalah, Bahwa Agama Kerap kali dan sering kali digunakan sebagai alat untuk mengatur dan membedakan manusia, padahal pada dasarnya, semua agama berasal dari Tuhan yang Esa. Beberapa alasan mengapa hal ini terjadi

- Interpretasi yang berbeda: Setiap agama memiliki kitab suci dan ajaran yang berbeda, sehingga interpretasi dan pemahaman terhadap ajaran tersebut juga berbeda-beda.

- Tradisi dan budaya: Agama seringkali terkait dengan tradisi dan budaya suatu masyarakat, sehingga mempengaruhi cara orang memahami dan mempraktikkan agama.

- Kepentingan politik dan kekuasaan: Agama telah digunakan sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh politik sepanjang sejarah.

- Ketidakpahaman dan ketakutan: Ketidakpahaman dan ketakutan terhadap agama lain dapat menyebabkan orang menjadi eksklusif dan tidak toleran.

Namun, perlu diingat bahwa semua agama memiliki ajaran dasar yang sama, yaitu:

- Cinta kasih: Semua agama mengajarkan cinta kasih dan kasih sayang terhadap sesama manusia.

- Keadilan: Semua agama mengajarkan keadilan dan kesetaraan.

- Kebijaksanaan: Semua agama mengajarkan kebijaksanaan dan kesadaran.

Jadi, mari kita fokus pada ajaran dasar agama yang membawa kita kepada kesatuan dan kedamaian, bukan perbedaan yang memisahkan kita.

Apabila terjadi penolakan perkawinan antara dua warga negara yang kebetulan beda agama, untuk melakukan perkawinan secara administratif negara, maka patut dipersepsikan telah terjadi kegagalan sistem dalam memberikan pelayanan dan persamaan kedudukan setiap warga negara di depan hukum untuk mencapai masyatakat yang adil dan Beradap ( Vide pasal 27 ayat (1) UUD 1945 )

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki hak hidup dan menyayangi sesama tanpa dikotomi aturan agama. Semua agama mengajarkan cinta kasih, keadilan, dan kasih sayang terhadap sesama manusia.

Dalam Islam, Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa." (QS. Al-Hujurat: 13)

Dalam Kristen, Yesus mengajarkan, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Ini adalah perintah pertama dan yang utama. Dan yang kedua, yang sama dengan itu, adalah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Matius 22:37-39)

Dalam agama lainnya, juga terdapat ajaran-ajaran yang serupa, yang menekankan pentingnya cinta kasih, keadilan, dan kasih sayang terhadap sesama manusia. 

Jadi, mari kita hidup dengan cinta kasih, keadilan, dan kasih sayang, tanpa dikotomi aturan agama, dan menghormati hak hidup dan martabat setiap manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. 

Penulis adalah pemerhati sosial budaya tinggal di Jakarta

Posting Komentar

Posting Komentar